SELAMAT DATANG DI DESA BANDUNGSARI

Bandungsari-Ku (Desa Kami - Nu Kami - Jeung Kami)

Bandungsari merupakan salah satu desa yang terletak di sebelah selatan Kecamatan Banjarharjo dan masuk wilayah Kabupaten Brebes. Jumlah penduduk 5550 (laki-laki 2552 dan perempuan 2998). Luas wilayah 1658 Ha) Sebagian penduduk bermata pencaharian petani, dan sebagian menjadi pekerja bangunan di Jakarta. Bandungsari kini dipimpin oleh "kuwu" Abdul Kodir.

06 January 2009

Ada Yang Salah dari Kondangan???


Sudah sejak lama sekali hal ini bersemayam mengganggu pikiranku. Tidak jarang aku mencoba menelaah ini, ada nilai-nilai apa dibalik peristiwa tersebut. Sebenarnya apa sih yang ingin aku bahas….kok bahasa di awal paragrafnya begitu serius….emang ada apa dengan kondangan???

Sampai sekarang aku sendiri belum tau, dari mana kata kondangan itu berasal..Tapi apalah itu aku ga peduli….yang pasti aku ingin mengeluarka uneg-uneg yang selama ini mengganjal tentang kegiatan kondangan yang ada di daerahku.

Sudah menjadi hal yang lumrah, bila di hari-hari tertentu, semisal hari-hari setelah lebaran Idul Fitri, lebaran Haji, dan 17 agustusan. Suasana desa ku dan desa-desa sekitarnya rame karena dimeriahkan oleh orang-orang yang hajatan. Ada yang nikahin anaknya, ada yang sunat anaknya. Bahkan saking penginnya menggelar hajatan, tidak jarang ada orang yang mengadakan hajatan buat orang lain tapi tentunya yang masih punya hubungan saudara.

Realitanya sekarang, ketika kita datang untuk kondangan, kita datang tidak dengan tangan kosong. Tentu ada sesuatu yang harus dibawa. Biasanya kalau yang sedang hajatan saudara, maka yang dibawa pun dibagi dua. Yang pertama ibu-ibunya, biasanya mereka membawa sesuatu yang dibutuhkan ketika hajatan, biasanya kalau dulu pada bikin makanan sendiri. Ada beberapa makanan yang sangat khas sekali ketika ada di tempat hajatan yaitu lemper, wajit, cuhcur, paleredan, bolu kukus (jaman baheula ujur wa he3)..aduh apa lagi ya....pararoho geuning, jarang kasinoman siy he3. Selain itu, dari pihak bapak-bapak biasanya lebih simpel karena mereka biasanya kebanyakan hanya ”mengutangi” uang. Besarnya yang diberikan sesuai dengan kedekatan hubungan saudara dan tentunya juga kemampuan.

Tetapi kalau kondangan ke orang yang kita hanya sebatas kenal, maka yang dibawapun memang tidak terlalu banyak. Bahkan belakangan gejala serba instan pun sudah merambah dalam dunia kondangan. Biasanya ibu-ibu tinggal beli saja di warung klontong, karena segala kebutuhan makanan atau apapun telah tersedia. Makanaya tidak heran kalau toko klontong di daerah bandungsari merupakan salah satu jenis usaha yang menjanjikan, hal ini bisa di lihat dari besarnya transaksi yang dilakukan tiap harinya, di bandungsari sendiri (setahu saya) ada 2 toko klontong yang besar yang jaraknya berdekatan yaitu Toko Adi dan Toko Kamal (kedua toko itu diambil dari nama anak laki-lakinya).

Potret dari budaya kondangan tersebut, ada sesuatu hal yang ingin saya sorot sebenarnya. Yang pertama adalah adanya kecenderungan untuk memaksakan memberikan sesuatu diluar kemampuannya. Konsekuensinya, tidak jarang banyak orang yang hutang hanya untuk kondangan. Dorongan untuk melakukan hal tersebut mungkin karena beberapa hal, salah satunya karena gengsi, atau mungkin malu dan ada rasa tidak enak. Yang kedua adalah kondangan ternyata sifatnya hutang. Hal ini bisa dilihat dari besarnya yang mereka berikan jumlahnya akan sama dengan yang akan mereka terima. Itulah kenapa ada perasaan rugi kalau sampai kita tidak menggelar hajatan. Makanya kalaupun kita tidak punya seseorang yang dihajatkan, ada beberapa orang yang memaksakan untuk menghajatkan orang lain he3. Yang ketiga banyaknya jumlah orang yang melakukan hajatan pada saat tertentu ex momen saat hari raya, jelas ini ada kecenderungan dan dorongan untuk mencari keuntungan, karena pada saat itulah semua orang berkumpul di kampung halaman. Dan anehnya kadang ada orang yang sehari-harinya berada di kota (jakarta dan sekitarnya), tapi ketika mau menggelar hajatan (nikahin atau nyunatin), mereka melakukannya di kampung.

Tentu ini akan bagus ketika niatnya untuk berbagi kebahagiaan. Tapi pada kenyataannya tidak sedikit yang mencari keuntungan.
Semakin kompleknya masalah kondangan yang ada di daerahku ini, menjadi seperti lingkaran setan yang tidak akan menemukan titik henti. Ada nada ketidaksanggupan dalam benak masyarakat sebenarnya, tapi mereka tidak punya daya dan upaya untuk merubah hal tersebut. Tentunya hal ini harusnya jadi keprihatinan kita besama, karena disaat suasana serba sulit, masyarakat harus dibebani dengan budaya dan kebiasaan yang merugikan.

Solusinya adalah harus ada upaya bersama yang dilakukan, terutama oleh pemerintahan desa sebagai pemegang fungsi eksekutif di daerah kekuasaannya. Harus ada upaya yang mengatur secara jelas tentang hal ini. Selain juga tentu harus selektif memberikan ijin untuk hajatan. Ada semacam dialog yang harus dilakukan antara pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat itu sendiri. Harapannya tentu untuk menempatkan posisi hajatan sesuai dengan fitrahnya. Sehingga kondangan pun harusnya menjadi sarana untuk bersilaturahmi dan juga untuk berbagi kebahagiaan…..bukan malah berbagi kesusahan…semoga..

No comments:

Post a Comment