SELAMAT DATANG DI DESA BANDUNGSARI

Bandungsari-Ku (Desa Kami - Nu Kami - Jeung Kami)

Bandungsari merupakan salah satu desa yang terletak di sebelah selatan Kecamatan Banjarharjo dan masuk wilayah Kabupaten Brebes. Jumlah penduduk 5550 (laki-laki 2552 dan perempuan 2998). Luas wilayah 1658 Ha) Sebagian penduduk bermata pencaharian petani, dan sebagian menjadi pekerja bangunan di Jakarta. Bandungsari kini dipimpin oleh "kuwu" Abdul Kodir.

19 February 2011

SEMUA TAK SAMA

Banyak orang tua bersemangat menyekolahkan anak-anaknya sekarang. Harapannya tak lain dan tak bukan, ingin melihat anaknya menjadi sukses. Mudah ditebak, karena ukuran kesuksesannya pasti menggunakan parameter materi. Diantaranya berapa besar gajinya, berapa tinggi pangkatnya dan berapa besar perusahaan tempat bekerjanya. Tak bisa dipungkiri memang, keinginan orang tua untuk melihat anaknya bekerja di gedung yang megah, berpakaian rapih berdasi, dan ruangan ber-AC, tetap menjadi obsesi nomor wahid hampir semua orang tua.

Mindset bahwa setelah kuliah harus kerja tertanam kuat dibenak meraka (orang tua : red), dan rasanya tidak ada logika manapun yang bisa mereka terima kalau anaknya tidak berkerja, tapi cuma buka usaha atau yang lebih parah lagi menganggur. Tempat itu (selain dunia kerja : red) mungkin hanya milik orang-orang yang kalah dan tak mampu bersaing di ketatnya dunia kerja, begitu pikiran pendek mereka. Banyak pembenaran dan pembelaan yang mereka lakukan buat anaknya, jika belum bekerja, mereka bilang apa yang dilakukannya sekarang hanya sementara, sambil menunggu panggilan kerja yang diidamkannya.


Bukan dikotomi antara bekerja atau berusaha yang ingin dibahas. Tapi saya ingin lebih melihat kepada kesuksesan secara umum, baik itu dengan bekerja maupun dengan usaha. Karena ada kehawatiran yang cukup mendalam yang penulis rasakan, bila melihat, mendengar dan mengamati tentang motivasi atau dorongan orang tua menyekolahkan anaknya. Tentu pengamatan ini lebih bersifat subyektif karena obyek yang diamati pun hanya sekitar tempat penulis dilahirkan dan dibesarkan. Beberapa alasannya pun didapat dari ngobrol santai ketika bertemu orang tua, lewat telepon dan terkadang langsung dari mulut orang tua yang bersemangat ingin menyekolahkan anaknya.


Kehawatiran itu jelas beralasan bila melihat jurang pemisah antara ekspektasi orang tua tentang anaknya yang sedang kuliah berbanding dengan kondiri riil dunia kerja yang ada di jaman sekarang. Banyak orang tua yang terjebak dengan hanya berpikir bagaimana bisa membiayai anaknya untuk kuliah. Fokusnya jelas hanya terbatas pada biaya. Mereka kurang paham dengan jurusan yang anaknya ambil, bagaimana prospeknya ke depan. Dan yang paling penting, jarang dari mereka yang berpikir bagaimana anaknya menjalani kuliahnya sehari-hari. Apakah diisi dengan main-main, berkumpul dengan teman se-daerah dan hanya menghabiskan uang bulanan atau dengan serius belajar.


Sebagai ilustrasi, banyak diantara orang tua berpikiran, kalau anak tetangga si A bisa kelihatan sukses karena kuliah di Universitas Z, dan ambil jurusan X. Maka Logika liniernya, anaknya pun bisa meraih hal yang sama, karena berada pada kondisi yang sama. Malah ada yang lebih ekstrim lagi, hanya karena kota tempat kuliahnya sama, maka pasti hasilnya sama. Padahal mungkin, bila ditilik lebih lanjut, selama di kuliah, anaknya tidak berusaha sekeras tetangganya, belajar tidak lebih lama, bergaul tidak lebih luas, baca buku tidak lebih banyak, atau mungkin bangun tidak lebih pagi dari anak tetangganya yang sukses itu.


Kekecewaannya akan terlihat jelas ketika waktunya tiba. Saat dimana anaknya sudah lulus. Dan dihadapkan pada persaingan kerja yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Sehingga saat kegagalan menghampiri secara bertubi-tubi pada anaknya. Hanya kekecewaan yang tersisa. Tak jarang mereka malah menyalahkan faktor luar, nasib lah, tidak ada uang untuk “nyogok” masuk kerja lah dan banyak lagi alasan yang lain. Anehnya yang banyak dipersalahkan justru faktor dari eksternal itu. Bukan instrospeksi ke dalam (internal).


Bahwa semua orang ada rejekinya itu pasti. Tapi itu tidak lantas dijadikan alas an untuk bermalas-malasan untuk menjemputnya. Karena rejeki tidak akan turun dari langit begitu saja. Sebab Tuhan Maha Adil, pasti dia tahu siapa saja yang pantas untuk mendapatkan rejekinya. Dan kepantasan itu sangat besar dipengaruhi oleh seberapa hebat seseorang berusaha untuk mendapatkannya. Seperti hukum tabur-tuai. Seseorang hanya akan menuai apa yang ditanamnya. Jadi kalau selama kuliah atau sekarang (saat masih muda :red) kita tidak menanam kebaikan untuk meningkatkan kemampuan kita. Lalu apa yang akan kita tuai nanti. Tukul Arwana bilang “Kesuksesan itu harus dibangun dari kristalisasi keringat”. So kalau masih ada waktu untuk pembaharuan diri, kenapa tidak mulai dari sekarang…?

28 August 2010

FENOMENA SAAT LEBARAN TIBA

Tidaklah mengherankan bila melihat banyak orang rela berbondong-bondong, dan meresikokan kenyamanan di perjalanan hanya untuk menuju kampung halamannya. Jauhnya parak mungkin tak menjadi soal, asal bisa berkumpul dengan keluarga tercinta. Resiko yang mungkin dihadapi saat lebaran tak jada hambatan, besarnya biaya yang harus dikeluarkan -pun mungkin tak menjadi masalah, asal bisa pulang ke tempat kelahiran. Begitu pula macetnya jalan, susahnya cari kendaraan, cuaca yang tak bersahabat, tak akan mampu mengurangi hasrat orang untuk pulang mudik.


Itulah fenomena yang biasa kita lihat, rasakan, dan kita lakukan saat lebaran tiba. peristiwa mudik ini merupakan perpindahan orang yang cukup besar, dan disebut-sebut sebagai perpindahan manusia terbesar ke-2 setelah peristiwa haji. Di Indonesia tradisi mudik ini berlanjut terus menerus, dari dulu sampai sekarang. Apa sebenarnya yang menyebabkan tradisi mudik itu tetap ada? Dan kenapa orang rela panas-panasan, desak-desakan, tidur di emperean terminal atau stasiun atau mungkin hujan-hujanan untuk bisa pulang ke kampung halaman?


Entah apalah jawaban yang pasti, karena mungkin motivasi satu orang dengan yang lainnya tentu berbeda. Ada orang yang punya motivasi untuk benar-benar bersilaturahmi dengan keluarga tercinta, yang memang sudah lama tak jumpa. Ada juga yang memanfaatkan lebaran untuk menjadi ajang pamer kekayaan, menunjukan ke khalayak banyak tentang apa yang sudah diraihnya. Poin motivasi terakhir inilah yang banyak dijumpai ketika lebaran tiba. Kadang-kadang, kapasitas dan kemampuan financial tak jadi ukuran. Asal bisa dibilang keren, hebat, dan wah, apapun akan dilakukan.


Makanya tak heran bila lebaran tiba, banyak perusahaan yang memberikan jasa kredit, mendadak kebanjiran order. Banyak orang yang ingin menunjukan hartanya saat berada di kampungnya. Beberapa barang yang banyak menjadi primadona untuk dipamerkan diantaranya, handphone, notebook (laptop), sepeda motor, dan mobil. Tak ketinggalan juga pakaian yang mewah dan bagus-bagus. Padahal banyak dari semua itu yang kadang terkesan dipaksakan. tidak disesuaikan dengan kemampuan financial. Sehingga setelah lebaran usai, maka usai juga-lah kepemilikannya. Ada beberapa yang tidak sanggup melanjutkan kredit, atau ada juga yang dijual, untuk menutupi hutang-hutangnya ketika mau mudik.


Di desa kami dan sekitarnya, lebaran selain menjadi momentum untuk bersilaturahmi dengan saudara dan tetangga. Lebaran juga dijadikan moment yang tepat untuk melakukan hajatan, baik itu nikahan ataupun sunatan. Entah apa yang jadi dasarnya, mungkin karena tepat waktunya dimana banyak saudara pada hadir dan memberi doa, atau mungkin ada maksud terselubung yaitu untuk mencari penghasilan tambahan (he2...dugaan yang ini tendensius dan emosional), karena tidak jarang orang yang setelah hajatan, justru malah kebanjiran rejeki melimpah. Tentunya hasil dari kondangan orang yang menjadi undangannya.


Seperti yang ibuku rasakan, mungkin ada rasa keharuan dan kebahagiaan, ketika lebaran itu tiba. Karena bisa berkumpul dengan anak-anaknya, yang sudah mulai dewasa dan beranjak meninggalkannya untuk mencari ilmu dan harta. Tapi disisi yang lain lebaran seolah menorehkan luka dan ketakutan yang mendalah (alah lebay), karena banyaknya kebutuhan yang dihadapinya.... Bersabarlah ibu, aku pasti pulang......

09 May 2010

Belalang di Sawah kami

2 Mei 2010 (Catatan Harian)

Sepulang sekolah tanpa sempat berpikir perut yang lapar, aku langsung ganti baju dan langsung menemui teman main-ku. Setelah semuanya kumpul kita langsung pergi menuju tempat yang direncanakan sebelumnya. Dengan jalan setapak yang kami lalui dan harus melewati sawah dikanan dan kiri jalan. Terlihat tumpukan tanaman padi bekas dipanen masih tersisa memenuhi lahan sawah yang belum diolah lagi. Disertai gelak tawa dan canda ria aku berjalan dan sesekali berlari hanya karena melihat belalang yang sedang hinggap di jalan yang kami lalui.


Tidak tau kenapa rasanya, tidak tega hati ini melihat belalang bisa hidup santai dan damai ditempat yang kami lewati. Paling senang tentu kalau melihat ada belalang yang sedang maaf “kawin”, karena itu sudah dapat dipastikan mudah sekali untuk menangkapnya. Bahkan tak harus ada gerakan yang super cepat, atau alihan pandangan mata pura-pura tidak melihat. Dengan mudah kita bisa menangkapnya. Mungkin sama seperti manusia, ketika diri dikuasai nafsu, maka kita tidak sadar berapapun besarnya bahaya yang akan menghampiri kita. Begitu pula nampaknya yang dialami belalang bernasib sial itu, karena hanya kenikmatan yang dirasakan saat itu. Sama seperti remaja di daerah kami yang terjebak dalam kehidupan yang tidak baik., karena mengikuti nafsu sesaaat. Kembali ke soal belalang, slalu ada rasa penasaran dan ingin menangkap saja kalau liat ada belalang, bahkan hanya sebatas untuk mematahkan kaki belakang yang dijadikan penopang untuk dia bisa terbang. Dulu aku tidak pernah berpikir bagaimana nasib belalang yang berhasil aku tangkap kemudian aku cederai, sampai akhirnya dia tidak bisa terbang lagi. Karena waktu itu yang tersisa hanya ada perasaan senang dan puas kalau sudah berhasil menangkapnya. Masa kecil yang indah....he3


Beberapa lahan yang tidak ditanami bawang, biasanya masih tersisa batang tanaman padi, yang ditempat itulah belalang mudah ditemukan. Menangkap belalang di siang hari membutuhkan tenaga yang extra, karena tak jarang kami harus berlari kesana kemari untuk menangkapnya. Berbeda bila itu dilakuakan malam hari. Kita akan sangat mudah untuk menangkapnya, karena sudah bisa dipastikan mereka tidak akan punya daya dan upaya untuk melarikan diri. Aku sendiri pernah satu kali ikut ngobor simeut (istilah nangkap belalang malam hari), dan senang rasanya melihat belalang itu tak berdaya untuk kabur. Sehingga botol aqua yang aku bawa untuk menyimpan hasil tangkapanku, secara cepat dapat terisi penuh. Dan bila waktu sudah malam, maka aku dan rombongan pemburu belalang pulang untuk memasak hasil tangkapan.


Betapa bangganya aku saat itu, aku tunjukan hasil tangkapanku di depan kedua orang tuaku. Kala itu aku merasa bangga sebagai anak laki-laki karena aku pikir aku sudah bisa mencari sesuatu untuk aku makan bersama keluarga. Aku tidak tahu persis roman muka seperti apa yang dapat aku tangkap dari orang tuaku. Yang pasti aku merasa ada tersirat kebahagiaan di wajah bapak dan pasti bangga punya anak seperti aku, karena di usiaku yang sekecil ini aku sudah berani menunjukan kalau aku tidak takut sama gelap malam, ular sawah, dan benda apa saja yang mungkin bisa menyelakai aku kapan saja ketika aku injak...terkesan berlebihankah? ga ah....sebab kalau sekarang disuruh lagi belum tentu berani...he3


Kembali ke nasib belalang tempur itu. Hanya ada penderitaan yang akan timbul setelah mereka berhasil ditangkap, karena sebelum dimasak biasanya mereka direndam dulu dengan air panas…alamak..untuk bertahan hidup botol aqua saja sudah sangat susah apalagi harus disiram air panas, tamatlah sudah riwatnya. Terakhir tentu hidangan goreng belalang yang sudah dimasak sedemikian rupa akan tersaji, ditemani dengan sepiring nasi, bagi keluarga kami itu sudah cukup untuk bisa mengisi perut dan menganggap bahwa itu salah satu makanan yang lezat….Sekarang..sudah kangen sekali rasanya aku pengin menikmati sajian itu…..Kalau pun aku pulang belum tentu lagi musim padi..atau kalaupun musim panen tiba, belum tentu orang-orang ada yang nangkap…karena kalau sekarang disiruh nangkap….pasti aku sudah angkat bendera putih tinggi-tinggi….

12 February 2010

Menumbuhkan Jiwa Entrepreneur

Sudah sedari dulu pemuda Bandungsari merantau keluar dari desa dengan harapan bisa memperbaiki kehidupan. Dengan keterampilan yang seadanya, tidak menyurutkan niat mereka untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Dengan bermodalkan hanya tenaga dan mental nekad mereka beranikan diri untuk mengadu nasib di kota tujuan. Jakarta jelas menjadi tempat primadona pertama yang dijadikan pilihan untuk bekerja. Hal ini tidak lepas dari ekspektasi bahwa di Jakarta kita bisa mendapatkan segalanya. Apalagi kalau pada saat lebaran, para perantau datang dengan pakaian yang bagus dan membawa uang banyak, jelas ini akan menjadi magnet yang semakin menyedot mereka untuk datang.

Lain cerita bagi mereka yang punya sedikit modal, mendaftar untuk berangkat ke luar negeri untuk berlayar bisa jadi alternatif lain. Akan tetapi biaya untuk berangkat memang cukup mahal bagi sebagian orang, jadi tidak semua pemuda bisa mengakses untuk berangkat kesana. Saat bekerja di luar negeri biasanya mereka diikat kontrak 2 atau 3 tahun untuk bekerja di kapal laut. Sepulangnya dari luar negeri seperti biasa hal ini akan membuat pemuda lain ngiler, karena pulang dengan membawa uang yang cukup banyak.


Dari dua cerita di atas, banyak orang yang hanya terkecoh dengan hasilnya saja. Banyak yang ngiri dan ikut terbuai untuk mengikuti jejak temannya. Padahal ketika mereka merasakan sendiri, ternyata proses untuk mendapatkan itu tidak mudah. Dari cerita yang berhasil saya peroleh dari teman yang berangkat berlayar, ada cerita haru, getir dan sedih. Bagaimana tidak, banyangkan kita harus hidup berbulan-bulan di laut, jauh dari akses informasi dan hiburan. Selain jauh dari sanak saudara, mereka juga jauh dari negeri sendiri. Kalau mau dibilang enak tentu jauh panggang dari api, tidak salah kalau ada pameo yang mengatakan “lebih baik hujan batu dinegeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang lain”. Tentu ucapan itu tak salah jika kita sendiri yang merasakannya.


Dari tetangga saya yang pernah berlayar saya dapat cerita yang cukup mencekam, dimana dia terapung-apung di laut selama hampir satu minggu, karena kapal yang ditumpanginya kebakaran. Saya tidak pernah bisa membayangkan kalau yang berada diposisi itu adalah saya. Mungkin satu hari pun belum tentu sanggup bertahan. Tapi menurut cerita, akhirnya teman saya bisa bertahan sampai akhirnya ada kapal lain yang ikut menyelamatkan dia. Sekarang tidak usah jauh-jauh, coba lah kita tengok teman-teman kita dari kampung yang hijrah ke Jakarta untuk bekerja. Banyak dari mereka tidur dengan kondisi alakadarnya, bekerja juga menjadi buruh bangunan yang hanya mengandalkan tenaga (tanpa bermaksud mengecilkan mereka). Begitu seterusnya siklus mereka, samapai akhirnya usia yang tidak memungkinkan lagi untuk bekerja.


Melihat kondisi tersebut, tentu ada keprihatinan tersendiri bagi saya sebagai salah satu pemuda yang berasal dari desa juga. Bekerja di luar daerah tanpa dibekali keterampilan yang cukup, jelas akan sangat merepotkan bagi kelangsungan hidup kita sendiri. Untuk mengatasinya jelas harus ada pemotongan siklus, agar tidak terjadi terus menerus. Salah satu solusinya jelas dengan pendidikan, tingkat pendidikan yang tinggi akan membuat pikiran seseorang lebih luas lagi dalam memandang sesuatu hal. Tentu masalah yang akan muncul ke permukaan, tidak semua orang tua bisa menyekolahkan anaknya sampai jenjang ini. Kalaupun ada yang sanggup belum tentu berbanding lurus dengan kemampuan yang diperoleh, mengingat ilmu dan keterampilan yang didapatkan di sekolah tidak serta merta berbanding lurus dengan dunia kerja.


Satu-satunya jalan yang bisa dilakukan adalah dengan menumbuhkan jiwa entrepreneur (wirausaha) pada anak semenjak kecil. Dengan harapan setelah dewasa mereka mempunyai keberanian untuk membuka usaha. Karena tidak semua orang punya keberanian itu, perlu mental yang cukup besar juga untuk bisa membuka usaha sendiri. Karena resiko yang dihadapi jelas penolakan dan juga cemoohan dari orang sekitar. Tapi kalau hal ini bisa diatasi, jelas ini bisa menjadi point tersendiri.


Bagi yang belum punya keberanian 100 persen untuk berusaha, bisa dimulai sedikit-sedikit sewaktu muda. Potensi yang terbesar jelas dimiliki oleh pemuda yang baru pulang dari berlayar. Karena mereka biasanya membawa uang yang cukup untuk bisa membuka usaha. Bukan malah habis dengan menghambur-hamburkan dengan bersenang-senang. Berapapun banyaknya uang, kalau tidak dikelola dengan baik, jelas akan habis juga. Terus bagi yang tidak berlayar pun, tentu tidak usah berkecil hati, karena jalan menuju kesana sangat terbuka. Asal mau berusaha dan bekerja keras pasti ada jalannya…..Spesial buat temen2 saya yang berangkat berlayar dan berani membuka usaha dengan modal yang dihasilkan dari kerja kerasnya, paling tidak bisa terhindar dari sindirin cewek yang bilang bahwa “kalau menikah sama orang berlayar, kayanya cuma sebentar”, buktikan kalau itu salah besar..he3