SELAMAT DATANG DI DESA BANDUNGSARI

Bandungsari-Ku (Desa Kami - Nu Kami - Jeung Kami)

Bandungsari merupakan salah satu desa yang terletak di sebelah selatan Kecamatan Banjarharjo dan masuk wilayah Kabupaten Brebes. Jumlah penduduk 5550 (laki-laki 2552 dan perempuan 2998). Luas wilayah 1658 Ha) Sebagian penduduk bermata pencaharian petani, dan sebagian menjadi pekerja bangunan di Jakarta. Bandungsari kini dipimpin oleh "kuwu" Abdul Kodir.

18 December 2009

ASA AING UYAH KIDUL

Kalimat dalam judul itu dulu aku sering dengar ketika mendengarkan cerita berseri di radio dongeng enteng mang Jaya. Di lingkungan desaku (bandungsari) acara itu cukup favorit, hampir setiap rumah yang punya radio kala itu, kalau sudah waktunya dongeng dimulai pasti mendengarkan dengan serius, walaupun ada yang sambil duduk, tiduran, atau kalau yang ibu-ibu sambil masak di goah (gudang penyimpanan makanan-red).

Bukan dongeng enteng Mang Jaya-nya yang mau saya bahas, tapi salah satu paribahasa yang sering saya dengar yaitu asa aing uyah kidul (asa aing pangpinterna atawa pangbeungharna, cindekna pangpangna. Uyah kidul cenah kadarna leuwih réa, jadi karasana leuwih asin manan uyah ti laut séjénna). Tidak tahu kenapa pada perkembangannya saya melihat ada beberapa indikasi perilaku masyarakat desa (bandungsari-dst) yang mengarah ke kondisi seperti itu.

Walaupun yang mau saya bahas hanya sebatas kasuistik (kasus per kasus), tapi tidak ada salahnya juga hal ini bisa kita sadari, sehingga akhirnya bisa kita perbaiki bersama. Sebagaimana contoh yang relevan dengan paribasa tersebut, yaitu orang tua yang dengan bangga bilang ke tetangganya atau ke temannya kalau dia bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang perguruan tinggi, ada cerita yang dilebih-lebihkan ketika mereka bicara soal biaya sekolah. Dia bilang menghabiskan berapa puluh juta untuk masuk ke program/jurusan tertentu. Begitu pula dengan mahalnya biaya hidup yang harus ditanggung mereka (biaya kost dan biaya makan selama diperantauan).

Sepintas kelihatannya tidak ada masalah dengan cerita tersebut. Toh memang secara fakta tidak murah juga untuk bisa menyekolahkan anak di jaman sekarang. Selama ini juga hanya kalangan tertentu saja yang bisa mengakses pendidikan tinggi itu. Cuma yang akan berbahaya ketika itu diceritakan secara hiperbola (berlebihan) di depan orang biasa-biasa saja tapi punya hasrat yang besar untuk menyekolahkan anaknya. Tidak kah mereka berpikir bahwa ceritanya akan mematikan api semangat yang sebelumnya ada, meluluh lantakan asa yang tadinya coba dibangun untuk masa depan anaknya. Sehingga akhirnya mereka dipaksa ikhlas untuk melihat kenyataan bahwa anaknya tidak akan bisa mencapai cita-citanya dan hanya akan mengikuti jejak dia, entah sebagai petani atau mungkin kuli (maaf tanpa mengecilkan peran mereka di profesi itu).

Padahal kalau mau jujur hitung-hitungan, ada biaya standar yang bisa dipatok untuk biaya hidup selama kuliah. Saya ambil contoh bila kuliahnya di daerah timur seperti Semarang, Purwokerto, Jogja atau Malang. Contoh untuk biaya makan sehari (15 ribu) dikalikan selama sebulan maka akan ketemu angka 450 ribu. Ditambah biaya ini dan itu, bagi saya angka 650-800 ribu angka yang rasional untuk biaya hidup. Tentunya dengan hidup sederhana, tapi tetap cukup dengan asupan gizi. Kalau ada yang cerita bahwa anaknya lebih dari satu juta sebulan untuk biaya hidup saja (di daerah yang saya ceritakan), tentu harus di cek keseriusan/keprihatinan anaknya sekolah.

Belajar dari pengalan saya ketika kuliah di Purwokerto (2003-2007), dari awal kuliah sampai akhir masa kuliah saya hanya dikasih 450 ribu. Baru 6 bulan sebelum lulus, ongkos saya naik menjadi 500 ribu itupun karena kebutuhan skripsi (padahal dijaman saya pun tidak sedikit anak yang biaya hidupnya 600-800 ribu) padahal orang tuanya biasa-biasa saja. Angka hemat itu didapat dengan hitung-hitungan makan yang tidak terlalu sederhana juga dan cukup bergizi, karena faktanya dengan uang jajan segitu pun saya bisa gemuk he3. Begitu pula dengan uang bensin, saudara saya pernah bilang bensin 2 liter harus cukup dalam waktu satu minggu, nyatanya setelah saya coba akhirnya cukup juga, padahal selama di kampus juga saya termasuk aktif berorganisasi yang mobilitasnya cukup tinggi.

Begitu pula dengan uang masuk kuliah, pasti ada batas standar yang bisa dijadikan patokan. Bagi orang tua yang tidak punya cukup dana untuk bisa masuk perguruan tinggi. Ada tips yaitu usahakan anaknya untuk masuk perguruan tinggi negeri, dan jalurnya harus lewat SPMB Nasional (ujian masuk nasional). Kalau itu bisa dilakukan niscaya tidak akan terlalu berat untuk menyekolahkan anaknya. Kalaupun mau cari yang swasta carilah sekolah swasta yang tidak terlalu banyak biayanya.

Bahwa semuanya sudah berubah ya saya sadari betul, mungkin ketika saya kuliah lagi pun tidak akan cukup lagi angka segitu, tapi yang harus dipahami adalah ada angka standar minimum yang bisa dijadikan patokan untuk menentukan biaya kuliah anak. Apalagi kalau ada tetangga atau saudara yang dari ekonomi biasa-biasa saja tetapi dia bisa menyekolahkan anaknya, maka tugas kita harus mencari tahu bagaimana rahasia suksesnya, bukan malah mendengarkan orang yang "asaeun" yang suka melebih-lebihkan sesuatu....Biarkan dia menjadi garam yang paling asin, toh dalam masakan-pun kalau terlalu asin hasilnya tidak lezat. Faktanya banyak anak yang lahir dari keluarga sederhana dengan keterbatan ekonomi tapi bisa sukses juga di bangku sekolah dan dunia kerja...Sekarang anda juga bisa.....

No comments:

Post a Comment